Mengapa Agama Mengajarkan Adat Memandang Lawan Jenis; Mengapa Belajar Dan Menuntut Ilmu Dikatakan Sebagai Bentuk Yadnya → Cinta merupakan sebuah fitrah yang memang telah melekat kedalam benak manusia sebagai makhluk ciptaan Allah SWT. Cinta merupakan sebuah anugerah namun juga bisa menjadi musibah jika kita tidak benar-benar memahami hakikatnya sebagaimana juga hukum akad nikah di bulan ramadhan . Banyak manusia yang tersesat akibat cinta yang salah dan buta. Memang benar bahwa cinta yang terpendam dan tak terungkap terutama kepada lawan jenis merupakan perasaan yang Dalam sebuah hadis nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam menggambarkan bahwa seorang wanita itu ibarat piala-piala kaca, ini menunjukkan bahwa wanita adalah makhluk Allah Subhanahu wa Ta’ala yang sangat sensitif yang mana kala hatinya yang telah hancur berkeping-keping maka sangat sulit baginya untuk diperbaiki sebagaimana sulitnya memperbaiki dan membuat utuh kembali sebuah kaca yang telah pecah. Oleh karena itu, maka selayaknya kita bersikap hati-hati jangan menumbuhkan harapan-harapan padahal kita tidak ingin menindaklanjuti serius untuk menikah.Hadist tersebut menyiratkan bahwa, mengungkapkan rasa cinta kepada lawan jenis malah bisa dianggap sebagai bentuk memberikan harapan palsu. Apalagi jika tidak disertai dengan kesungguhan dengan mendatangi rumah wali untuk meminangnya. Lalu bagaimanakan islam memandang hal ini. Berikut akan di jelaskan secara singkat mengenai hukum menyatakan cinta kepada lawan jenis dalam islam. Simak Menyatakan Cinta Kepada Lawan Jenis Dalam IslamIslam sendiri memandang bahwa menyatakan cinta kepada lawan jenis terutama yang bukan mahram merupakan hal yang dilarang. Mengapa? Sebab dari hal tersebut dapat memunculkan berbagai tindakan yang kemungkinan besar mengarah pada perbuatan dosa yang tentunya bukan merupakan tujuan dari penciptaan manusia , hakikat penciptaan manusia ,proses penciptaan manusia serta konsep manusia dalam islam . Namun, terdapat dua hukum yang kemudian memandang bagaimana menyatakan cinta kepada lawan jenis dalam Pernyataan Cinta Karena AllahAda seorang sahabat yang berdiri disamping Rasulullah shallalahu alaihi wasallam, lalu seorang sahabat lain lewat dihadapan keduanya. Orang yang berada disamping Rasulullah itu tiba-tiba berkata “Ya Rasulullah, aku mencintai Dia.““Apakah engkau telah memberitahukan kepadanya?“, tanya Nabi.“belum” jawab orang shallalahu alaihi wasallam berkata, “Nah, kabarkanlah kepadanya!“.Kemudian orang itu segera berkata kepada sahabatnya. “Sesungguhnya aku mencintaimu karena Allah.“Dengan serta merta orang itu menjawab, Semoga Allah mencintaimu karena engkau mencintaiku karena-Nya“. HR. Abu dawud.Dari kisah diatas, menunjukkan bahwa peryataan rasa cinta diperbolehkan bahkan dianjurkan sendiri oleh Rasulullah SAW sebagaimana menikah di bulan ramadhan . Namun, dengan catatan bahwa pernyataan cinta teraebut berlandaskan kepada rasa cinta terhadap Allah SWT. Cinta yang berlandaskan kepada Cinta karena Allah sudah pasti jauh dari kata yang mendekati perbuatan dosa. Cinta karena Allah berarti merupakan cinta yang penuh keseriusan dalam rangka mengajak menjalin ikatan yang sah di mata shallallahu alaihi wasallam mengajarkan sikap saling mencintai kepada sesama. Bahkan Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda,“Apabila seorang muslim mencintai saudaranya karena Allah hendaklah dia memberitahukan kepadanya“ HR. Abu dawud dan Tarmidzi.Artinya bahwa jika seorang muskim mencintai muslim lainnya maka ia harus memberitahukannya. Namun, tentunya harus dilakukak dalam kotidor keislaman dan keimanan. Misalnya mendatangi kediaman walinya kemudian memintanya secara baik-baik. Sesuangguhnya hal yang demikian inilah yang menunjukkan bahwa rasa cinta dan pernyataan cinta tersebut didasari atas kecintaan terhadap Allah Abu Hurairah radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. bersabda“Sesungguhnya ada seseorang yang mengunjungi saudaranya di kota lain. Kemudian Allah memerintahkan malaikat untuk mengikutinya. Ketika malaikat sampai kepadanya, ia berkata, “Hendak ke mana engkau?” Orang itu berkata, “Aku akan mengunjungi saudaraku di kota ini.” Malaikat berkata, “Apakah ada hartamu yang dikelola olehnya?” Ia berkata, “Tidak ada, hanya saja aku mencintainya karena Allah.” Malaikat itu berkata, “Sesunggunya aku adalah utusan Allah kepadamu. Aku diperintahkan untuk mengatakan bahwa Allah sungguh telah mencintaimu sebagaimana engkau telah mencintai saudaramu itu karena Allah.” HR. MuslimDari Anas radhiyallahu anhu berkata bahwa nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda,“Tidaklah termasuk beriman seseorang diantara kamu sehingga mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” HR Bukhari, Muslim, Ahmad, dan Nasa’i.Berdasarkan hadist diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa rasa mencintai dan kemudian mengungkapkan rasa cinta apabila merupakan rasa cinta karena Allah maka hal tersebut dianjurkan untuk di nyatakan. Sebab kecintaan seorang muslim kepada muslim lainnya, amat di anjurkan sebagai bentuk ajaran keislaman. Namun, sekali lagi hal tersebut harus berada dalam koridor dan kadar yang tidak melebihi kecintaan kepada Allah. Tunjukkan bahwa benar pernyataan cinta anda didasari atas cinta karena Allah, maka seyogyanya hal tersebut tidak bertentangan dengan nilai Pernyataan Cinta dengan Tujuan LainDi era moderen seperti saat ini, fenomena menyatakan cinta bagi kalangan muda dianggap menjadi hal yang lumrah. Namun, islam tentunya memiliki pandangan lain akan hal ini. Sebab pastinya bagi mereka yang masih dianggap awam mengenai hakikat cinta akan menyalah artikan bahwa pernyataan cinta kepada lawan jenis sah-sah saja dilakukan. Padahal perkara ini dapat menjadi sumber sekaligus juga memicu perbuatan dosa lainnya. Perbuatan dosa yang dimaksud adalah godaan untuk kemudian berbuat zina dan bahkan mendekati shallallahu alaihi wasallam bersabda yang artinya“Tidaklah aku meninggalkan fitnah sepeninggalku yang lebih berbahaya terhadap kaum lelaki dari fitnah godaan wanita.” Muttafaqun alaih, dari Usamah bin Zaid radhiyallahu anhuma.Dalam hadist diatas menjelaskan bahwa hal yang paling berbahaya bagi kaum pria tidak lain adalah godaan dari kaum wanita. Dengan tegas pula Rasulullah menyatakan akan hal ini. Maka dari itu, salah satu hal yang bisa menjerumuskan kita kepada godaan ini tentunya diawali dengan pernyataan cinta yang pastinya dilakukan untuk tujuan lain. Tujuan yang dimaksud disini tidak lain adalah mengarah kepada perbuatan yang berhubungan dengan hasrat seksual seseorang kepada lawan Abi Hurairah radhiyallahu anhu dari Nabi shallallahu alaihi wasallam bahwa Beliau bersabda“Telah ditulis atas anak adam nashibnya bagiannya dari zina, maka dia pasti menemuinya, zina kedua matanya adalah memandang, zina kakinya adalah melangkah, zina hatinya adalah berharap dan berangan-angan, dan dibenarkan yang demikian oleh farjinya atau didustakan.” HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan Nasa’i.Dalam memenuhi hasrat tersebut, pastinya seseorang cenderung memgarahkan perbuatannya mengarah kepada upaya perzinahan. Tentunya pernyataan cinta dengan tujuan mengarah kepada hal demikiam hukumnya adalah diharamkan. Ini juga bisa menjadi salah satu cara untuk mendekati zina yang sudah jelas-jelas dilaknat oleh Allah SWT. Tentu saja hal ini sama sekali tidak sesuai dengan kaidah ajaran menyatakan cinta kepada lawan jenis dalam islam. Akan semakin mengarahkan diri kita kepada nilai keislaman dan keimanan diri. Terlebih lagi di zaman sekarang ini, pemahaman dan nilai islam jangan sampai luntur sebagaimana tips puasa ramadhan untuk ibu hamil , hukum minta maaf sebelum ramadhan, serta keutamaan malam nifsu sya’ban. Semoga artikel ini dapat bermanfaat.
Pernahberjudi atau beli nomor dan minum minuman keras (YN-W1, 103-111) [negatif] Ngeyel jika dimarahi orang tua (200-203) [negatif] Asal bicara, tanpa memandang lawan bicara. (YN-W2, 341) [negatif] Sering berantem (YN-W3, 474) [negatif] Tidak mempedulikan adat sopan-santun dan tindak tanduk budaya jawa.
Witing tresno jalaran soko kulino. Demikian peribahasa Jawa menggambarkan bahwa rasa cinta kepada lawan jenis tentu saja diawali dengan pandangan mata. Dan hal tersebut akan semakin mendalam kalau intensitas bertemu kian tinggi. Karenanya, Islam memberikan panduan bagaimana beradu pandang dan berinteraksi dengan jenis kelamin berbeda yang bukan mahram. Di tengah maraknya aksi-aksi pelecehan seksual dan pergaulan bebas, pembahasan tentang batasan aurat, etika bergaul dan ketentuan menjaga pandangan antara laki-laki dan perempuan kiranya perlu ditekankan. Sebab, tak sedikit tindak kejahatan yang dipicu oleh miminnya pengetahuan tentang etika pergaulan, kecerobohan perempuan dalam menjaga aurat, kecerobohan laki-laki dalam menjaga pandangan, dan sebagainya. Syekh Muhammad bin Qasim Al-Ghazzi dalam Fathul Qarib menguraikan batasan aurat laki-laki dan perempuan, sekaligus ketentuan dalam menjaga pandangan di antara keduanya. Menurutnya, pandangan laki-laki kepada perempuan atau sebaliknya tidak terlepas dari tujuh keadaan. Tujuh keadaan tersebut memiliki batasan aurat dan ketentuan hukum masing-masing. Lihat Fathul Qarib, halaman 43. Tujuh keadaan tersebut terdiri atas enam hal, di antaranya relevan untuk diuraikan di sini. Pertama, pemandangan laki-laki kepada perempuan bukan mahram tanpa ada kebutuhan. Dijelaskan dalam Hasyiyatul Baijuri, maksudnya adalah laki-laki dewasa, tua renta, remaja, dan anak usia pubertas kepada perempuan dewasa, gadis remaja, atau anak-anak perempuan yang sudah diinginkan. Hukumnya tidak diperbolehkan meski tidak disertai syahwat dan terhindar dari fitnah. Jika disertai syahwat, maka ia termasuk kepada zina mata, berdasarkan hadits riwayat Ahmad Setiap mata pasti berzina. Dijelaskan Al-Munawi, maksud mata yang berzina dalam hadits tersebut adalah mata yang dipergunakan untuk melihat perempuan yang bukan mahram dan disertai syahwat. Demikian yang diungkap Syekh Muhammad ibn Qasim al-Ghazzi ونظر الرجل إلى المرأة على سبعة أضرب أحدها نظره ولو كان شيخا هرما عاجزا عن الوطء إلى أجنبية لغير حاجة إلى نظرها فغير جائز؛ فإن كان النظر لحاجة كشهادة عليها جاز. Artinya Pandangan laki-laki kepada perempuan terbagi menjadi tujuh bentuk keadaan. Pertama, pandangan laki-laki, walaupun dia sudah tua, pikun, dan tidak mampu bersenggama kepada perempuan yang bukan mahram, maka hukumnya tidak boleh. Namun, jika pandangan karena suatu kebutuhan seperti mencari bukti darinya maka hukumnya boleh. Lihat Syekh Ibrahim, Hasyiyatul Baijuri, jilid II, halaman 96. Sedangkan pandangan laki-laki kepada anak perempuan yang belum diinginkan hukumnya diperbolehkan. Meski demikian, bagian kemaluannya tetap tidak boleh dilihat, begitu pula kemaluan anak laki-laki, kecuali bagi ibu yang menyusui dan mengasuhnya. Selanjutnya, pandangan laki-laki kepada perempuan tua tetap diharamkan meski sudah tidak diinginkan, begitu pula berkhalwat atau berduaan dengannya. Adapun pandangan laki-laki kepada laki-laki atau perempuan kepada perempuan tak banyak disinggung para ulama. Sebab, masing-masing boleh saling melihat selama tidak disertai syahwat kecuali bagian antara pusar dan lutut. Sedangkan bagian antara pusar dan lutut tetap diharamkan walaupun tidak disertai syahwat. Ini artinya, bila disertai syahwat, jangankan kepada perempuan, sesama jenis, atau hewan, hatta kepada benda mati sekalipun, seperti patung, lukisan, tayangan, tumbuhan, atau tiang rumah, juga tidak diperbolehkan. Ketentuan ini dijelaskan para ulama, bukan mempersulit manusia, melainkan semata menutup rapat pintu kemudlaratan. Ketidakbolehan itu berdasarkan ayat yang menyatakan Katakanlah kepada kaum laki-laki beriman, Hendaklah mereka menahan pandangan dan menjaga kemaluannya. Surat An-Nur ayat 30. Perintah dalam ayat di atas tidak hanya berlaku bagi laki-laki, tetapi juga bagi perempuan. Bahkan, perintah untuk perempuan disampaikan secara terpisah dalam ayat selanjutnya. وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ Artinya Hendaklah mereka menahan pandangan dan menjaga kemaluannya. Surat An-Nur ayat 31. Dalil dari sunnahnya adalah apa yang dilakukan Rasulullah SAW terhadap Al-Fadhl bin Abbas. Rasulullah SAW memalingkan wajah Al-Fadhl yang tengah memandang seorang perempuan Al-Khats’amiyyah yang berparas cantik, sebagaimana yang diriwayatkan oleh An-Nasa’i dalam Sunan-nya. Rasulullah melakukan itu semata menjauhkan fitnah dan godaan setan di antara keduanya. Lihat Imam Al-Mawardi, Al-Hawi Al-Kabir, jilid IX, halaman 35. Kedua, saling memandang antara suami dan istri. Masing-masing boleh memandang seluruh bagian tubuh, termasuk bagian kemaluan. Hanya saja, menurut pendapat paling sahih, meski diperbolehkan, melihat kemaluan dibolehkan disertai makruh, begitu pula setelah meninggal. Selama tanpa syahwat, bagian antara pusar dan lutut pun diperbolehkan. Ini menurut pendapat yang mutamad. Ketiga, pandangan laki-laki kepada perempuan mahram, baik mahram karena nasab, persusuan, maupun karena pernikahan. Hukumnya dibolehkan melihat seluruh badan kecuali bagian antara pusar dan lutut selama tidak disertai syahwat. Sementara bila disertai syahwat, hukumnya haram meskipun selain bagian antara pusar dan lutut. Hal ini berlaku juga bagi perempuan kepada mahramnya. Keempat, pandangan laki-laki kepada perempuan yang akan dinikahinya. Hukumnya diperbolehkan meskipun tidak diizinkan oleh si perempuan atau walinya, dan melihatnya disertai dengan syahwat dan takut fitnah. Dalam hal ini, izinnya cukup dari agama untuk melihat wajah asli calon istrinya. Hanya saja bagian yang boleh dilihat hanya bagian wajah dan kedua telapak tangan termasuk luar dan dalam meski melihatnya dilakukan berulang-ulang jika memang dibutuhkan. Sementara, bila satu kali saja dianggap cukup, maka mengulanginya tidak diperbolehkan. Kelima, pandangan laki-laki kepada perempuan untuk kepentingan pengobatan. Dengan demikian, seorang dokter diperbolehkan melihat bagian tubuh pasien perempuan yang akan diobati, termasuk bagian kemaluannya. Namun, dengan catatan, pengobatan dilakukan di hadapan suami, mahram, atau perempuan terpercaya. Tentunya pemeriksaan oleh dokter laki-laki dilakukan setelah dokter perempuan tidak ada. Pengobatan seorang muslimah disyaratkan pula sedapat mungkin mendahulukan dokter laki-laki muslim daripada dokter laki-laki non-muslim. Begitu pula dokter perempuan non-muslim didahulukan daripada dokter laki-laki muslim. Hal serupa juga berlaku bagi dokter perempuan kepada pasien laki-laki. قوله والخامس النظر للمداواة؛ فيجوز نظر الطبيب من الأجنبية إلى المواضع التي يحتاج إليها في المُداواة حتى مداواة الفرج. ويكون ذلك بحضور محرم أو زوج أو سيد، وأن لا تكون هناك امرأة تُعالجها Artinya Kelima melihat untuk mengobati. Hukumnya boleh dokter laki-laki melihat perempuan bukan mahram kepada bagian-bagian yang perlu diobati, hingga mengobati kemaluannya. Dengan catatan, pengobatan itu dilakukan di hadapan mahram, suami, atau tuan pemilik. Dan di sana tidak ada perempuan yang bisa mengobati. Lihat Syekh Ibrahim, Hasyiyatul Baijuri, jilid II, halaman 96. Keenam, pandangan laki-laki terhadap perempuan dalam bermuamalah atau mencari bukti perkara. Pada saat muamalah, seperti jual beli, sewa-menyewa, laki-laki boleh melihat perempuan, tetapi hanya kepada wajahnya, sebagaimana disebutkan Al-Mawardi. Adapun pada saat memberi kesaksian, seorang laki-laki boleh melihat apa saja yang dibutuhkan, termasuk bagian kemaluan. Contohnya saat membuktikan bahwa si perempuan telah berzina, korban rudal paksa, atau persalinan. Termasuk ke dalam muamalah adalah mengajar. Guru laki-laki dibolehkan melihat murid perempuan selama aman dari fitnah. Ini pendapat yang mutamad atau dipedomani, kendati Imam Subki cenderung mengkhususkan kebolehan itu pada sesuatu yang wajib dan fardlu ain dipelajarinya, seperti belajar surat al-Fatihah atau praktik ibadah wajib lainnya yang sulit dipelajari di balik hijab. Demikian enam keadaan pandangan laki-laki kepada perempuan, berikut batasan aurat dan ketentuannya. Semoga ini bermanfaat dan menjadi acuan dalam berinteraksi kita sehari-hari. Wallahu a’lam.
EmpatKebenaran Mulia. Oleh : Venerable Ajahn Sumedho. SEGENGGAM DAUN. Pada suatu waktu, Yang Terberkati 1 tinggal di Kosambi dalam hutan pohon simsapa. Beliau meraup dedaunan segenggam dan bertanya kepada para bhikkhu, 'Bhikkhu, bagaimana menurut anda, manakah yang lebih banyak: dedaunan yang saya gengam atau daun-daun yang berada pada pohon-pohon di hutan?
Ulama berbeda pendapat tentang boleh tidaknya umat Islam bermain dan dengarkan musik Oleh Syahrudin el-Fikri, Nidya Zuraya Para ulama berbeda pendapat tentang boleh tidaknya umat bermain musik dan mendengarkannya. Banyak orang meyakini bahwa musik bisa membangun kesadaran masyarakat atas kondisi sosial yang terjadi di sekitarnya. Lalu, bagaimanakah Islam memandang musik itu sendiri dalam kaitannya dengan pembangunan sosial dan budaya suatu masyarakat. Dalam Islam, ada dua pandangan terhadap musik. Ada ulama yang membolehkan dan ada pula yang melarangnya. Perbedaan ini muncul lantaran Alquran tak membolehkan dan melarangnya. Namun demikian, terjadi perbedaan pandangan para ulama tentang boleh atau tidaknya bermain musik, termasuk mendengarkannya. Imam Syaukani dalam kitabnya Nailul Authar menyatakan, para ulama berselisih pendapat tentang hukum menyanyi dan alat musik. Menurut jumhur ulama, hukumnya haram. Sedangkan, Mazhab Ahl al-Madinah, Azh-Zhahiriyah, dan jamaah Sufiyah memperbolehkannya. Abu Mansyur al-Baghdadi dari Mazhab Syafi’i menyatakan, Abdullah bin Ja’far berpendapat bahwa menyanyi dan musik itu tidak menjadi masalah. Bahkan, dia sendiri pernah menciptakan sebuah lagu untuk dinyanyikan para pelayan budak wanita jawari dengan alat musik, seperti rebab. Persitiwa ini terjadi di masa Khalifah Ali bin Abi Thalib RA. Abdurrahman al-Jaziri dalam kitabnya Al-Fiqh Ala Mazhahib al-Arba’ah menyatakan, Al-Ghazali berkata, ”Nas-nas syarak telah menunjukkan bahwa menyanyi, menari, dan memukul rebana sambil bermain perisai dan senjata dalam perang pada hari raya adalah mubah. Sebab, hari seperti itu adalah hari bergembira.” Mengutip perkataan Imam Syafi’i yang mengatakan, sepanjang pengetahuannya, tidak ada seorang pun dari ulama Hijaz yang benci mendengarkan nyanyian atau suara alat-alat musik, kecuali bila di dalamnya mengandung hal-hal yang dilarang oleh syarak. Ulama Mazhab Hambali menyatakan, tidak halal menggunakan alat musik, seperti seruling, gambus, dan gendang, baik dalam acara seperti pesta pernikahan maupun acara lainnya. Menurut pendapat ini, walaupun acara walimahan, apabila di dalamnya ada alat musik, seseorang tidak wajib untuk memenuhi undangan tersebut. Para ulama Hanafiyah menyatakan, nyanyian yang diharamkan adalah nyanyian yang mengandung kata-kata tidak baik, tidak sopan, porno, dan sejenisnya. Sedangkan, yang dibolehkan adalah yang memuji keindahan bunga, air terjun, gunung, pemandangan alam, dan memuji kebesaran Allah SWT. Ulama terkemuka Dr Yusuf al-Qardawi dalam bukunya, Al-Halaal wal Haraam fil Islam, memperbolehkan musik dengan sejumlah syarat. Syekh Muhammad Nashiruddin al-Albani melarang umat Islam untuk bermusik. Ia mendasarkannya pada salah satu hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari. ”Akan ada dari umatku sebagai kaum yang menghalalkan zina, memakai sutra, minuman keras, dan alat-alat musik.” Musik Sebagai Pemersatu Sebenarnya, sejumlah ritual keagamaan yang dijalankan umat Islam mengandung musikalitas. Salah satu contohnya adalah alunan azan. Selain itu, ilmu membaca Alquran atau ilmu qiraah juga mengandung musik. Secara umum, umat Islam memperbolehkan musik. Bahkan, di era kejayaannya, umat Islam mampu mencapai kemajuan dalam bidang seni musik. Beberapa ulama di Tanah Air menilai, musik memiliki peranan baik jika ditinjau dari segi kehidupan sosial masyarakat ataupun kehidupan beragama. Dalam pandangan Prof KH Didin Hafidhudin, kesenian–termasuk seni musik–merupakan kebutuhan yang sesuai dengan fitrah manusia. ”Islam itu adalah agama yang menghargai fitrah manusia. Karena itu, sah untuk dikembangkan.” Melalui musik, menurut Didin, manusia dari berbagai tempat serta dengan latar belakang budaya dan bahasa yang berbeda bisa dipertemukan. Selain itu, melalui musik, kepekaan sosial dan rasa tanggung jawab yang dimiliki seseorang bisa diasah. ”Orang saling mengenal satu sama lain, di samping juga semakin mengenal siapa dirinya,” ujar KH Didin. Dalam konteks ajaran Islam, lanjut Didin, sebuah karya musik haruslah bertujuan untuk mendekatkan diri seorang manusia kepada sang pencipta, Allah SWT. Namun, yang terjadi sekarang, sambungnya, banyak karya musik yang dihasilkan hanya mengusung tema pemujaan kepada lawan jenis dan kebebasan yang tidak bertanggung jawab. Ia menilai, paradigma musik saat ini dekat dengan hal yang bersifat hura-hura dan urakan. Dan, itu semua, menurutnya, sudah melekat pada diri para musisi dalam negeri. ”Padahal, ide-ide gagasan tersebut ditularkan kepada masyarakat pendengar. Karena itu, tidak jarang karya musik itu justru menimbulkan kematian dan anarki,” paparnya. Karya musik, ungkap KH Mahmud Ali Zain, selain menjadi sebuah budaya, juga menjadi alat penghibur dan alat untuk berkomunikasi. Karena itu, kata dia, kedudukan musik berbeda-beda. ”Ada yang menyatakan itu barang yang mubah, tetapi ada juga yang memandangnya sebagai sebuah barang yang diharamkan tidak boleh.” Namun, dalam pandangan Islam, menurut Mahmud, sebuah karya musik paling tidak harus memenuhi dua persyaratan, yakni memiliki unsur religi dari sisi lagu dan religi dari sisi pihak yang mengusung lagu tersebut. Dari sisi lagu, harus mengarah kepada pujian kepada Allah SWT. Sementara itu, orang yang membawakan lagu tersebut harus mengenakan pakaian yang sopan dan tidak membuka aurat. ”Karena, dalam kacamata Islam, sebuah karya musik jangan sampai menarik pendengarnya kepada kemaksiatan dan perbuatan dosa. Tetapi, harus bisa menyebabkan orang bertambah takwa, seperti musik yang diusung oleh grup musik Bimbo, Snada, dan lainnya,” urainya. Musik Sebagai Alat Terapi dan Pengobatan Seni musik yang berkembang begitu pesat di era kejayaan Islam tak hanya sekadar mengandung unsur hiburan. Para musisi Islam legendaris, seperti Abu Yusuf Yaqub ibnu Ishaq al-Kindi 801–873 M dan al-Farabi 872-950 M, telah menjadikan musik sebagai alat pengobatan atau terapi. R Saoud dalam tulisannya bertajuk The Arab Contribution to the Music of the Western World menyebutkan bahwa al-Kindi sebagai psikolog Muslim pertama yang mempraktikkan terapi musik. Menurut Saoud, pada abad ke-9 M, al-Kindi sudah menemukan adanya nilai-nilai pengobatan pada musik. ”Dengan terapi musik, al-Kindi mencoba menyembuhkan seorang anak yang mengalami quadriplegic atau lumpuh total,” papar Saoud. Terapi musik juga dikembangkan ilmuwan Muslim lainnya, yakni al-Farabi 872-950 M. Al-Farabi menjelaskan terapi musik dalam risalah yang berjudul Meanings of Intellect. Amber Haque 2004 dalam tulisannya bertajuk Psychology from Islamic Perspective Contributions of Early Muslim Scholars and Challenges to Contemporary Muslim Psychologists, Journal of Religion and Health mengungkapkan, dalam manuskripnya itu, al-Farabi telah membahas efek-efek musik terhadap jiwa. Terapi musik berkembang semakin pesat di dunia Islam pada era Kekhalifahan Turki Usmani. Prof Nil Sari, sejarawan kedokteran Islam dari Fakultas Kedokteran University Cerrahpasa Istanbul, mengungkapkan perkembangan terapi musik di masa kejayaan Turki Usmani. Menurutnya, gagasan dan pemikiran yang dicetuskan ilmuwan Muslim, seperti al-Razi, al-Farabi, dan Ibnu Sina, tentang musik sebagai alat terapi dikembangkan para ilmuwan di zaman kejayaan Turki Usmani. Mereka adalah Gevrekzade wafat 1801, Suuri wafat 1693, Ali Ufki 1610-1675, Kantemiroglu 1673-1723, serta Hasim Bey abad ke-19 M. Nil Sari mengatakan, para ilmuwan dari Turki Usmani itu sangat tertarik untuk mengembangkan efek musik pada pikiran dan badan manusia. Tak heran jika Abbas Vesim wafat 1759/60 dan Gevrekzade telah mengusulkan agar musik dimasukkan dalam pendidikan kedokteran. Keduanya berpendapat, seorang dokter yang baik harus melalui latihan musik. Usulan Vesim dan Gevrekzade itu diterapkan di universitas-universitas hingga akhir abad pertengahan. Sekolah kedokteran pada saat itu mengajarkan musik serta aritmatika, geometrik, dan astronomi kepada para mahasiswanya. Masyarakat Turki pra-Islam, ungkapnya, meyakini bahwa kosmos diciptakan oleh Sang Pencipta dengan kata ku’ atau kok’ suara. Mereka meyakini bahwa awal terbentuknya kosmos berasal dari suara. Menurut kepercayaan Islam, seperti yang tertulis dalam Alquran, Allah SWT adalah pencipta langit dan bumi. ”Dan, bila Dia berkehendak untuk menciptakan sesuatu, cukuplah Dia hanya mengatakan kepadanya, Jadilah.’ Lalu, jadilah ia.” QS Albaqarah 117. Setelah Islam berkembang di Turki, masyarakat negeri itu masih tetap meyakini kekuatan suara. Inilah yang membuat peradaban Islam di era Turki Usmani menyakini bahwa musik dapat menjadi sebuah alat terapi yang dapat menyeimbangkan antara badan, pikiran, dan emosi–sehingga terbentuk sebuah harmoni pada diri seseorang. Karena itu, para ahli terapi musik di zaman Ottoman meyakini bahwa pasien yang menderita penyakit tertentu atau emosi seseorang dengan temperamen tertentu dapat dipengaruhi oleh ragam musik tertentu. ”Para ahli musik di era Turki Usmani menyatakan, makam tipe melodi tertentu memiliki kegunaan pengobatan tertentu juga,” paparnya. Ada sekitar 80 ragam tipe melodi yang berkembang di masyarakat Turki Usmani. Sebanyak 12 di antaranya bisa digunakan sebagai alat terapi. Menurut Nil Sari, dari teks-teks tua dapat disimpulkan bahwa jenis musik tertentu dapat mengobati penyakit tertentu atau perasaan tertentu. Pada era kejayaan Kesultanan Turki Usmani, terapi musik biasanya digunakan untuk beberapa tujuan, seperti pengobatan kesehatan mental, perawatan penyakit organik, atau perbaikan harmoni seseorang, yakni menyeimbangkan kesehatan antara badan, pikiran, dan emosi. Musik juga diyakini mampu menyebabkan seseorang tertidur, sedih, bahagia, dan bisa pula memacu inteligensia. Nil Sari mengungkapkan, para ilmuwan di era Turki Usmani meyakini bahwa musik memiliki kekuatan dalam proses alam. Musik dapat berfungsi meningkatkan mood dan emosi secara keseluruhan. Bahkan, para ilmuwan di era Ottoman sudah mampu menetapkan jenis musik tertentu untuk penyakit tertentu. Misalnya, jenis musik huseyni dapat mengobati demam. Sedangkan, jenis musik zengule dan irak untuk mengobati meningitis. Sementara itu, masyarakat Barat baru mengenal terapi musik pada abad ke-17 M. Adalah Robert Burton lewat karya klasiknya berjudul The Anatomy of Melancholy yang mengembangkan terapi musik di Barat. Menurut Burton, musik dan menari dapat menyembuhkan sakit jiwa, khususnya melankolia. Malah, masyarakat Amerika Serikat AS baru mengenal terapi musik sekitar 1944. Pada saat itu, Michigan State University membuka program sarjana terapi musik. Sejak 1998, di Amerika telah berdiri The American Music Therapy Association AMTA. Organisasi ini merupakan gabungan dari National Association for Music Therapy NAMT yang berdiri tahun 1950 dan The American Association for Music Therapy AAMT yang berdiri tahun 1971. Kasidah Gambus dan Rebana Unsur budaya Indonesia yang banyak mendapatkan pengaruh dari budaya Arab adalah seni, terutama seni tari dan seni musik tradisional. Tidak sulit untuk mengetahui jenis-jenis musik apa saja di yang dipengaruhi oleh musik Arab. Melalui teknologi informasi atau museum, kita dapat mengenali persamaan bentuk musik di jazirah Arab dan di negeri ini. Gambus adalah salah satunya. Gambus berkembang pesat di beberapa kawasan Melayu, seperti Indonesia, Brunei Darussalam, dan Malaysia. Hingga kini, musik ini masih banyak dimainkan meskipun secara kuantitas tidak seramai dahulu. Sejarah kehadiran musik gambus dapat ditelusuri melalui masuknya Islam di kawasan Melayu. Dra Tengku Sitta Syaritsa dalam Musik Melayu dan Perkembangannya di Sumatra Utara menyatakan, masuknya musik gambus di Sumatra melalui hubungan dagang Kerajaan Melayu Aru yang berpusat di Deli dan Kerajaan Malaka dengan pedagang-pedagang Arab. Dari sini, kontak budaya terus berkembang sehingga melahirkan bentuk-bentuk kesenian baru. Senada dengan pernyataan itu, Tengku Irham, managing director of The Malay Management, mengatakan, selain kesamaan agama antara orang Melayu dan orang Arab, karakter orang Melayu sendiri terbuka bagi budaya-budaya luar. ”Masuknya Islam melalui pantai timur Sumatra memungkinkan terjadinya kontak budaya antarbangsa, termasuk kontak budaya antara Melayu dan Arab. Pengaruh Arab dalam musik Melayu berupa alat musik dan nada lagu. Alat musiknya berupa gambus dan nada lagunya berupa cengkok Melayu yang khas padang pasir,” kata Tengku Irham. Artikel ini diposting di pada 10 Juli 2009 dan ini merupakan posting ulang. Musik, Musiqi, dalam Peradaban Islam
Iamengulurkan tangannya, lalu menjambak dengan cepat tahu-tahu rambut anak laki-laki itu telah dicengkeram dan digaplok pipinya. "Anak setan, kau harus diujar adat..plak-plak-plak!" dan muka lawan yang tergeleng pulang balik oleh tamparan tosu itu tiba-tiba bengap pipi-nya dan matang biru. Gambar ilustrasi ini adalah foto karya Rony Zakaria dalam seri fottonya yang terkenal MOUNTAINS AND THE SEA Foto Rony ZakariaBerasal dari akar kata bahasa Yunani, antropos manusia dan logos ilmu/studi, makna dasar antropologi adalah ilmu tentang manusia atau ilmu yang mempelajari tentang seluk-beluk manusia. Antropolog mengkaji aneka ragam jenis manusia dari berbagai sudut pandang dan pendekatan guna mengetahui sejarah dan perkembangan mereka, proses evolusi ragawi maupun kultural, cara beradaptasi dengan alam, strategi bertahan hidup, dlsb. Secara garis besar, dalam tradisi akademik Amerika, antropologi dibagi menjadi empat kelompok utama, yaitu 1 arkeologi yang mempelajari peninggalan kesejarahan budaya bendawimaterial culture untuk mengetahui budaya non-bendawi nonmaterial culture umat manusia tempo dulu; 2 antropologi fisik biologi atau ragawi yang mengkaji keragaman ras manusia, proses evolusi, serta relasi antara "primata manusia” human primates dan "primata nonmanusia” nonhuman primates; 3 antropologi bahasa yang mengkaji seluk-beluk bahasa struktur, sejarah, fungsi, relasi bahasa-budaya, dlsb yang digunakan manusia; 4 antropologi budaya atau antropologi sosial menurut mazhab Eropa atau antropolog sosial-budaya, yakni jenis antropologi yang membahas seluk-beluk kebudayaan manusia di manapun berada. Alasan pentingnya mempelajari antropologi Ada sejumlah alasan mendasar mengapa umat agama perlu mempelajari antropologi, khususnya antropolog budaya. Di antara alasan utamanya adalah untuk menghindari kesalahpahaman budaya cultural misunderstanding. Dalam perspektif antropologi budaya, kebudayaan dibagi menjadi "budaya bendawi” dan "budaya non-bendawi”. Tema kebudayaan pada hakekatnya mengacu pada apapun yang diproduksi oleh pikiran dan tindakan manusia, termasuk di dalamnya adalah seni, adat, norma, ritual, aturan, dlsb. Dengan menggunakan pendekatan antropologi budaya, umat manusia bisa terhindar dari kesalahpahaman budaya? Hal itu karena antroplogi budaya menekankan perspektif "cultural relativism” relativisme kultural serta menghindari perspektif "ethnocentrism” etnosentrisme. Etnosentrisme adalah perspektif, pemikiran, atau bahkan ideologi yang menganggap kebudayaan kita itu superior ketimbang kebudayan lain. Orang yang memiliki watak etnosentrisme cenderung merendahkan, tidak menghargai, atau memandang inferior praktik kebudayaan umat/masyarakat lain. Setiap orang memiliki potensi menjadi etnosentris, tetapi kadar atau tingkat etnosentrisme setiap orang berbeda-beda. Seperti rasisme yang memandang keunggulan ras tertentu dibanding ras lain, etnosentrisme menganggap keunggulan budaya tertentu atas yang lain. Seperti rasisme, etnosentrisme juga akan sangat berbahaya kalau sudah menjelma menjadi sebuah ideologi gerakan. Orang yang mengidap penyakit ideologi etnosentrisme, mereka bisa antipati terhadap budaya lokal/asing yang dianggap tidak agamis atau bertentangan dengan nilai-nilai tertentu yang mereka yakini dan pedomani. _ Sumanto al QurtubyFoto S. al Qurtuby Sementara itu, relativisme kultural adalah perspektif yang menganggap bahwa produk kebudayaan manusia itu bersifat relatif nisbi atau tidak mutlak serta menekankan signifikansi mempelajari kebudayaan itu dari sudut pandang para pelaku yang mempraktikkan budaya tersebut. Inilah yang disebut dengan "pendekatan emik”, yakni sebuah pendekatan penelitian atau pengamatan tentang praktik kebudayaan tertentu dari sudut pandang komunitas yang diteliti. Tujuan pendepatan emik ini adalah agar kita mengetahui "apa sebenarnya” makna, fungsi, dan tujuan dari sebuah kebudayaan tersebut sehingga terhindar dari kesalahpahaman. Banyak orang, termasuk kelompok agama, salah paham terhadap praktik kebudayaan sebuah masyarakat karena tidak menggunakan perspektif atau pendekatan emik ini Berbagai kasus kesalahpahaman budaya Ada banyak contoh kasus kesalahpahaman budaya yang dilakukan oleh sebagian kelompok masyarakat di Indonesia termasuk kelompok agama, khususnya mereka yang bewatak cupet, rigid, konservatif, dan militan. Kesalahpaman itu terjadi, antara lain, karena faktor dominasi watak etnosentrisme, nihilnya perspektif relativisme kultural, serta tiadanya pendekatan emik dalam melihat keragaman praktik budaya di masyarakat. Kelompok salah paham ini biasanya ditandai dengan beragam aksi baik verbal maupun fisik seperti merendahkan, mengharamkan, mengafirkan, atau bahkan merusak aneka ragam warisan dan praktik kebudayaan lokal. Banyak sekali praktik kebudayaan lokal nusantara yang sudah menjadi korban dari serbuan kelompok radikal-militan agama. Atas nama nilai, norma, doktrin, ajaran, dan teologi keagamaan tertentu mereka haramkan, kafirkan, dan sesatkan berbagai jenis kebudayaan nusantara seperti wayang, gamelan, konde, kebaya, aneka kesenian, sajen, sedekah bumi, dlsb. Belum lama ini, dunia maya Indonesia kembali dihebohkan oleh aksi seorang pendakwah salafi-wahabi garis cupet keturunan Arab Yaman yang mengharamkan dan bahkan meminta untuk memusnahkan wayang yang kemudian menuai banyak kritik dari berbagai lapisan masyarakat. Menjadi tanda tanya besar kenapa ia mengharamkan dan minta memusnahkan wayang. Apakah ia pernah menonton wayang? Apakah ia paham tentang seluk-beluk dunia wayang, termasuk sejarah dan filosofi wayang? Kemudian kasus kasus seorang laki-laki yang tampak marah lalu menendang dan membuang sajen atau sesajen di kawasan Gunung Semeru. Aksi itu sempat terekam oleh seseorang dalam video amatir dan beredar luas di jagat internet dan media sosial sehingga memancing cemoohan dan ledekan banyak orang. Dalam aksi tersebut, tampak laki-laki tadi sangat emosi seraya memekikkan takbir Allahu akbar! mengatakan kalau sesajen adalah bentuk perbuatan syirik yang menjadi "biang kerok” kemarahan Allah SWT. Maksudnya mungkin karena sesajen itulah Gunung Semeru meletus. Menjadi menarik untuk dipertanyakan lebih jauh, misalnya Dari mana dia tahu kalau Allah SWT itu murka? Pula, dari mana dia tahu kalau Tuhan itu murka karena sesajen? Dari mana dia tahu kalau Gunung Semeru itu meletus karena murka Allah? Bukankah ada dan tidak ada sesajen, bencana alam itu terjadi di manapun dan kapanpun. Bencana alam juga sering sekali terjadi di kawasan Timur Tengah, termasuk Arab Saudi, seperti banjir bandang atau badai gurun. Kalau benar Tuhan murka karena sesajen, Jawa-Bali sudah luluh lantak sejak zaman dahulu kala. Begitu pula dengan India, Thailand, Nepal dan lainnya yang masyarakatnya gemar dengan sesajen. Tragedi wayang dan sesajen di atas hanyalah sekelumit contoh saja dari orang-orang yang mengidap penyakit ideologi etnosentrisme serta minimnya pemahaman relativisme kultural tadi. Sudah sering kelompok Islam tertentu melakukan aksi pengutukan, baik dalam dunia maya maupun dunia nyata, terhadap aneka ragam praktik kesenian dan kebudayaan, termasuk ritual-keagamaan masyarakat. Bukan hanya sebatas pengutukan, mereka juga kerap mengobrak-abrik acara-acara ritual-keagamaan yang sarat dengan lokal budaya nusantara Seandainya umat agama memperlajari antropologi, khususnya antropologi budaya, maka tragedi wayang dan sesajen itu tidak akan terjadi karena keduanya syarat dengan nilai-nilai kearifan lokal yang sangat baik dan positif serta sama sekali tidak bertentangan dengan nilai, norma, ajaran, dan dogma agama manapun. Misalnya, sajen atau sesajen mengandung makna dan filosofi tentang pentingnya berterima kasih/bersyukur, harmoni manusia dan alam semesta serta respek terhadap leluhur. Sementara wayang memiliki makna yang sangat dalam karena menjadi simbol kompleksitas kehidupan manusia. Karena itu wayang bukan hanya sebuah tontonan yang menghibur masyarakat tetapi juga tuntunan yang syarat moral dan bernilai positif bagi masyarakat. Hanya orang-orang yang cupet pikiran dan tuna wawasan saja yang mengharamkan apalagi sampai merusak wayang, sajen, dan aneka ragam tradisi, seni, dan budaya lokal nusantara lainnya. Sumanto Al Qurtuby Pendiri dan Direktur Nusantara Institute; Anggota Dewan Penasehat Asosiasi Antropologi Indonesia Jawa Tengah. *Setiap tulisan yang dimuat dalam DWNesia menjadi tanggung jawab penulis. Padahalengkau tahu, yang namanya orang pacaran, pasti ada hal-hal yang tidak dibenarkan dalam islam: memandang lawan jenis, berpegangan tangan, berduaan di tempat sepi, berciuman, hingga.ah, tak usah disebutkan. Bahkan meski pacarannya hanya sebatas lewat telpon, SMS atau chatting pun, hal tersebut sudah bisa memicu terjadinya zina hati. Jakarta - Dalam Islam, ada tuntunan atau akhlak bergaul dengan lawan jenis. Laki-laki ataupun perempuan yang beriman diminta menundukkan pandangan. Menundukkan pandangan adalah langkah awal menjaga jiwa dan akal seorang muslim dari hawa nafsu. Kita diminta mengontrol cara kita memandang, bukan semata-mata menundukkan pandangan mata. Sepintas, perintah ini mudah dilakukan. Namun pada praktiknya, perintah menundukkan pandangan ternyata punya tantangan tersendiri. Bagaimana cara mengontrolnya? Demikian topik Tanya Jawab Islam Tajil yang tayang di detikcom hari ini. Nah, sambil ngabuburit menunggu waktu magrib tiba, jangan lewatkan Tajil episode 'Hukum dan Batasan Memandang Lawan Jenis', Senin 28/5/2018 pukul di menunggu waktu berbuka sambil menyaksikan Tajil. Semoga puasa Anda lebih berkesan dan membawa program Tanya Jawab Islam, setiap hari pukul 1735 WIB selama Ramadan di detikcom. rns/rns
Iniberarti memandang, berjabat tangan, berduaan dan bentuk perbuatan lain yang dilakukan dengan lawan jenis karena hal itu sebagai perantara kepada zina adalah suatu hal yang terlarang. Islam Memerintahkan untuk Menundukkan Pandangan Allah memerintahkan kaum muslimin untuk menundukkan pandangan ketika melihat lawan jenis.
Bahkanada pula orang yang memandang seks sebagai hal yang tabu dan terlarang, karena hal itu maka mereka menganggap perasaan terhadap lawan jenis, serta cara manusia menjalankan fungsinya sebagai makhluk seksual.Ketiga, dimensi social. Dimensi kultural erat kaitannya dengan norma adat maupun agama. Segala sesuatu terus mengalami
.
  • ej2i2wqpev.pages.dev/85
  • ej2i2wqpev.pages.dev/219
  • ej2i2wqpev.pages.dev/17
  • ej2i2wqpev.pages.dev/14
  • ej2i2wqpev.pages.dev/75
  • ej2i2wqpev.pages.dev/193
  • ej2i2wqpev.pages.dev/46
  • ej2i2wqpev.pages.dev/147
  • ej2i2wqpev.pages.dev/389
  • mengapa agama mengajarkan adat memandang lawan jenis