Puasa Ramadhan merupakan salah satu kewajiban bagi umat beragama Islam. Berpuasa di bulan Ramadhan berarti menahan diri dari makan, minum, dan perbuatan yang tidak baik atau nafsu. Seringkali pada saat berpuasa, emosi adalah salah satu hal yang cukup sulit ditangani selama menjalani puasa. Perasaan emosi ini bisa dialami oleh siapa saja, baik orang dewasa maupun anak-anak. Hal ini sudah wajar ditemukan pada anak-anak, terutama ketika mereka berpuasa. Seiring bertambah usia, gejolak emosi timbul semakin sering, karena berbagai permasalahan kian muncul. Ada banyak faktor penyebab mengapa emosi anak-anak sangat cepat mengalami perubahan. Contohnya karena faktor lingkungan atau karena faktor dalam diri anak itu sendiri. Sebagai orang tua, kita harus bisa mengajarkan anak-anak bagaimana menahan emosi ketika sedang berpuasa. 1. Ajarkan Ikhlas dan Saling Memaafkan Untuk Masalah yang Kecil Dari kecil, anak sudah mulai mengikuti apa yang dilakukan oleh orang tuanya. Mereka mengamati tingkah laku kedua orang tua dan mengimplementasikan ke kehidupan sehari-hari dalam proses meniru. Pada saat ini, adalah waktu yang tepat untuk mengajarkan mereka hal-hal yang baik, terutama saat berpuasa. Contohnya jangan mempermasalahkan masalah kecil menjadi hal yang lebih besar. Sebagai orang tua, kamu harus bisa menjelaskan kepada anak-anak bahwa tidak semua masalah harus dibesarkan. Ajari mereka menahan diri dan emosi saat berpuasa dengan tidak perlu mempermasalahkan hal kecil yang dialami. Jangan lupa juga untuk mengajarkan mereka memaafkan dan ikhlas, karena jika tidak diajarkan akan menjadi dendam pribadi. 2. Lakukan Hal yang Tepat Ketika Anak Sudah Terpancing Emosi Apabila anak sudah tersulut emosi, segera lakukan penanganan yang tepat untuk meredakan emosinya. Gunakan teknik mengatur napas yang lebih efektif untuk membantu menenangkan emosi. Secara perlahan, atur napas anak dengan menyuruhnya menarik napas dalam dan tahan selama sepuluh detik. Kemudian buang dengan perlahan, lakukan berulang kali. Jika emosinya cukup sulit ditangani, coba tambah durasi menahan napas selama beberapa detik. Lalu praktekkan selama berulang kali hingga emosinya meredam dengan sendirinya. Teknik ini terbukti cukup efektif untuk menenangkan emosi anak ketika sedang menjalani puasa. Baca Juga Jangan Sepelekan! Mom, Kenali Stunting dan Cara Mencegahnya 3. Jangan Melakukan Sesuatu yang Menyulut Emosi Anak Lagi Setelah anak tenang dan emosinya meredam, tips selanjutnya adalah jangan melakukan hal-hal yang membuat emosinya muncul lagi. Jangan membahas atau menanyai sesuatu yang sebelumnya membuat anak tersulut emosinya. Hindari perbuatan yang menyudutkan anak atas kesalahan mereka, apalagi berkomentar yang tidak menyenangkan hati. Biarkan anak tenang dan kembali ke aktivitas biasanya agar mereka melupakan masalah yang membuatnya emosi. Hal tersebut bisa berdampak baik bagi anak karena mereka akan terhindar dari berbagai pikiran negatif hingga trauma. Selain itu, jadilah tempat paling nyaman bagi anak mencurahkan isi hatinya, hal ini akan membuat anak lebih terbuka. 4. Alihkan Perhatian Agar Anak Lupa dengan Masalahnya Cara sebelumnya memang cukup efektif untuk meredam emosi pada anak, tapi hanya untuk sementara saja. Untuk itu, lakukanlah sesuatu yang bisa membuat anak melupakan masalah yang menyulut emosinya. Ajak mereka melakukan sesuatu yang membuat hatinya senang dan mau beraktivitas seperti semula. Beberapa kegiatan bisa kamu lakukan seperti mengajak mereka bermain bersama, menonton film kesukaannya, membacakan cerita favoritnya. Saat sedang berpuasa, cobalah ajak mereka menyiapkan menu buka puasa bersama. Dengan melakukan hal-hal kecil seperti di atas, perlahan anak akan memudarkan masalah di pikirannya dan fokus kembali ke aktivitas semula. Baca Juga Tanda Fobia Sosial pada Anak dan Cara Mengatasinya 5. Mengedukasi Anak Tentang Pentingnya Menahan Emosi Saat Bulan Ramadhan Tips yang paling pokok adalah memberikan mereka edukasi tentang pentingnya menahan emosi saat berpuasa di bulan Ramadhan. Ingatkan mereka bahwa emosi dapat muncul sebagai godaan hawa nafsu, puasa tidak menjadi berkah apabila tidak dapat menahannya. Cara ini memang sulit diajarkan, maka dari itu gunakan imbalan sebagai hadiah atas pencapaian mereka dalam menahan emosi. Edukasi anak tentang momen sakral selama bulan Ramadhan yang hanya terjadi satu kali dalam setahun. Yakinkan mereka bahwa menahan emosi adalah salah satu bentuk kewajiban selama berpuasa. Dengan begitu, perlahan mereka akan paham dan mencoba menahan emosinya secara mandiri. Peran Para Orang Tua sangat Penting Menjadi orang tua yang memiliki peran besar terhadap anak memang cukup sulit untuk dilakukan. Mengajari anak tentang menahan emosi, mau saling memaafkan, ikhlas, dan sabar sejak dini memang harus dilakukan. Jangan lupa untuk selalu memberikan dukungan atas segala pencapaian mereka saat berhasil menahan emosi. Menjadi orang tua akan ditiru oleh anak atas apa saja yang kita ajarkan pada mereka. Baca Juga Seberapa Pentingkah EQ Emotional Quotient untuk Anak? Puasa Ibadah BulanRamadhan Anak Keluarga Apakah Anda mencari informasi lain?Ciripertama dari orang bertakwa selalu menafkahkan hartanya baik di waktu luang maupun sempit. Memberi saat kita punya itu baik, tapi berbagi saat kita juga kekurangan itu hal yang luar biasa. Orang bertakwa tidak takut hartanya berkurang hanya karena memberi kepada orang lain. "Sedekah hakikatnya tidak mengurangi harta." (HR Muslim).
Imam Shamsi AliPresiden Nusantara FoundationSecara khusus Allah SWT memanggil orang-orang beriman untuk berpuasa “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa” Al-Baqarah 183. Dalam sebuah hadis juga disebutkan “Puasa adalah untuk-Ku, dan Aku yang akan membalas puasa orang yang berpuasa”. Panggilan iman dan pengakuan puasa sebagai milik Allah mengindikasikan secara kuat bahwa puasa adalah amalan ibadah yang bersifat personal atau private dengan Allah SWT. Dalam melakukannya tidak ada sama sekali orang ketiga yang terlibat. Ketika anda salat, gerakan-gerakan itu nampak kepada orang lain. Ketika anda berzakat, minimal yang memberi dan menerima ikut terlibat. Ketika haji bahkan jutaan yang menyaksikan. Tapi puasa benar-benar hanya antara pelaku dan Tuhannya yang menjadi sinilah kemudian puasa menjadi pintu lebar untuk hadirnya Allah dalam hidup pelakunya. Seorang yang berpuasa akan melatih diri untuk bersama dengan Dia, yang melihat apa yang tidak nampak maupun yang memang nampak. Dan karenanya lambat laun, tapi pasti, “mahabatullah” kebesaran Allah akan bersemayam dalam Allah telah hadir bersamanya di setiap saat, masa dan keadaan, maka saat itu dalam dirinya terjadi kekuatan yang belum pernah bahkan tidak pernah dibayangkan. Akan terbangun kekuatan dahsyat yang boleh jadi berada di luar dugaan. Kita misalnya mengenal bahwa dalam perjalanan sejarah Islam, banyak kemenangan-kemenangan umat ini justeru terjadi di bulan di perang Badar misalnya adalah kemenangan yang terjadi di luar dugaan dan kalkulasi manusia. Dengan jumlah prajurit dan persenjataan yang jauh lebih kecil, Rasulullah SAW mengalahkan musuh yang berkekuatan tiga kali lipat itu dikarenakan kekuatan umat ini tidak selalu bersandar kepada keluatan materi dan fisik. Tapi lebih penting, kekuatan umat itu terbangun di atas soliditas ruhiyahnya. Dan di sinilah peranan puasa dalam membangun kekuatan atau kebersamaan dengan Allah ma’iyatullah juga akan membangun ketenangan hidup. Percayalah, hidup ini penuh dengan hiruk pikuk, goncangan dan tantangan. Seseorang yang lemah dan kurang siap menghadapi perubahan dan goncangan itu pasti akan terombang-ombang di tengah samudra situasi berpihak kepadanya maka dia akan lupa diri. Bahkan membusungkan dada, angkuh dan merasa dunia telah menjadi miliknya. Sebaliknya, ketika keadaan tidak berpihak kepadanya, dia lemah, merasa hina, bahkan prustrasi dan karenanya hanya ada satu jalan dalam mengantisipasi goncangan hidup itu. Hadirkan Dia Yang memiliki langit dan bumi dan segala isinya. Hadirkan Dia dalam setiap detakan jantung dan aliran darah kehidupan. Ketegaran Rasulullah SAW menghadapi tantangan dakwah, bahkan ancaman hidup ketika itu karena hadirnya Allah dalam dadanya. Itulah yang beliau buktikan di saat berada dalam gua Hira itu. Para algojo itu telah berdiri di depan pintu gua dengan pedang terhunus. Abu Bakar RA yang melihat itu menangis, bukan karena takut akan kematinnya sendiri. Tapi khawatir akan keselamatan Rasulnya. Dia khawatir juga para algojo itu menengok ke dalam gua itu dan pasti akan membunuh Rasulullah sang Rasul sendiri tenang menghadapi itu. Beliau kemudian membisikkan ke telingah sabahatnya itu “Jangan takut, jangan khawatir, karena Allah bersama kita”. Ternyata kehadiran Allah dengan sungguh-sungguh dalam hati menjadi “pengusir” ancaman itu. Para algojo pulang dan meninggalkan tempat itu tanpa menyadari bahwa orang yang mereka cari itu telah ada di jiwa di saat bersama Allah ini juga terjadi kepada seorang muallaf Amerika. Jalan hidupnya yang keras, tidak mudah, bahkan penuh dengan duri yang dia Maria. Maria adalah seorang wanita Hispanic keturunan Colombia. Ketika masih berumur sekitar 24 tahun dia kenalan dengan seorang muslim keturunan Mesir di Kota New York. Mereka kemudian saling suka dan menikah, bahkan Maria menerima Islam dengan sungguh-sungguh sebagai jalan hanya dalam tempo yang singkat sang suami berubah kasar dan sering memukulinya. Hingga pernikahan mereka melewati masa dua tahun, dan dikaruniai dua anak, suaminya menceraikan dia. Maria dan kedua anaknya ditinggalkan tanpa apapun, bahkan Maria harus keluar dari rumahnya tanpa bekal dan tanpa hari-hari pertama Maria ditolong oleh sebuah gereja. Tinggal di sebuah penampungan shelter milik gereja itu sambil mencari pekerjaan. Hingga suatu hari Maria berhasil diterima bekerja di sebuah toko inilah dia berkenanalan dengan teman barunya, seorang perempuan, juga keturunan Hispanic asal Puerto Rica. Teman Maria ini rupanya memperhatikan Maria setiap hari. Diam-diam dia kagum karena Maria selalu datang ke pekerjaannya dengan pakaian rapih, lengkap dengan kerudung. Tapi yang terpenting, Maria selalu ceria setiap hari teman Maria ini memberanikan diri bertanya kepadanya “Don’t you have any problem in your life?”. Mendengar itu Maria sambil tersenyum bertanya "Why?” Temannya melanjutkan “I have seen you happy and smile all the time. Seemingly you’re so happy”. Maria kemudian memegang pundak temannya itu dan menceritakan semua permasalahan hidupnya. Dari kenalan dengan orang Mesir itu hingga nikah, sampai dipukuli dan diceraikan. Betapa terkejutnya teman Maria itu. Tapi dia pun semakin tidak paham, kenapa Maria tetap ceria dan tersenyum? “So what makes you happy all the time?,” tanyanya. Maria memandang temannya itu dengan serius, lalu menjawab dengan singkat “Karena Allah bersama saya”.Rupanya jawaban ini tanpa disangka menggetarkan jiwa teman Maria. Tanpa dia sadari, dia menangis, tersentuh dengan cerita Maria. Tapi yang paling menggetarkan jiwanya adalah jawaban Maria Karena Allah bersamaku”. Singkat cerita teman Maria itu menyatakan ingin mengikuti Maria. Diapun datang ke masjid diantar Maria dan menerima Islam sebagai jalan hidupnya yang kebesaran Allah ketika hadir dalam dada manusia, dia menjadi kuat dan tenang menghadapi gelombang pergerakan hidup yang hanya akan berakhir dengan berakhirnya hidup dunia itu sendiri. Dan puasa adalah kunci utama untuk hadirnya Allah dalam dada manusia. Semoga!rhs
Intinyaadalah jika kita mempunyai hajat ( keinginan ) janganlah mengandalkan kepada orang lain. "jika kita berharap janganlah menggantungkan harapan pada Manusia tapi gantungkanlah harapan Hanya Pada Allah swt." KARENA menggantungkan harapan pada manusia hanya akan mendapat kekecewaan saja sedangkan pada Allah akan mendapat BAHAGIA.
Menjadi orangtua tanpa dibarengi dengan ilmu parenting yang baik akan membuat anak tumbuh di lingkungan yang tidak sehat. Ada banyak kesalahan dalam parenting yang membuat hubungan antara orangtua dan anak jadi terasa tidak nyaman, terutama dalam komunikasi. Bisa berbagi cerita dan menjadi teman curhat dengan anak itu suatu hal yang spesial. Anak akan spontan terbuka pada orangtua jika dia merasa nyaman dan aman. Namun, banyak orangtua yang tidak sadar tentang hal ini yang akhirnya bingung kenapa anaknya tertutup dan tidak mau curhat sebenarnya ada banyak alasan kenapa anak jadi takut untuk cerita, seperti lima di antaranya ada dalam pembahasan berikut ini. 1. Takut curhatannya dihakimiIlustrasi ayah sedang menasihati anak de RichelieuHal pertama yang bikin anak gak mau curhat ke orangtua adalah karena takut nanti apa yang dia ceritakan bakal dihakimi, terutama jika itu tentang kegagalan atau hal buruk yang dia alami. Sebab, seperti yang kita tahu bahwa orangtua paling sensitif dengan hal tidak baik, kan. Jadi wajar kalau kemudian anak merasa takut sehingga tidak mau curhat pada orangtuanya. Apalagi jika orangtuanya adalah tipe yang strict dan otoriter, maka bisa dipastikan anak akan memilih memendam ceritanya sendiri daripada bercerita, tapi akhirnya dihakimi. 2. Gak nyaman dengan pertanyaan orangtua yang terlalu kepoilustrasi ayah sedang menasehati anaknya seperti orang dewasa yang tidak suka ketika urusannya terlalu dikepoin orang, anak-anak pun juga sebenarnya seperti itu. Bisa dibilang salah satu alasan anak gak mau curhat ke orangtua adalah karena ia merasa risi dan tidak nyaman atas pertanyaan orangtuanya yang terkesan kepo. Masa remaja biasanya menjadi masa dimana anak mulai sedikit bercerita pada orangtuanya. Sebab, ketika remaja ia mulai sadar tentang privasi dan memberi batasan pada orang lain untuk ikut campur dalam urusannya. Baca Juga Inspirasi Gaya Parenting dari 5 Orang Terkaya di Dunia, Berani Coba? 3. Pernah sakit hati akibat orangtua yang menyudutkan saat curhatilustrasi orangtua menasihati anaknya gabby-kEntah karena emosi sesaat atau kondisi yang sedang sensitif, kadang orangtua mungkin melakukan suatu hal yang menyinggung anaknya. Hal ini juga berhubungan pada anak yang tidak mau curhat ke orangtua. Mungkin saja alasannya karena dia pernah merasa sakit hati akibat orangtua yang menyudutkannya saat curhat. Orangtua mungkin tidak mengingatnya, tapi anak adalah pengingat yang handal. Jadi sangat disarankan bagi para orangtua untuk tidak bersikap sembarangan pada anak. Sehingga saat dia curhat dan bercerita kamu bisa menanggapinya dengan lebih tulus dan terbuka. 4. Menyebarkan apa yang diceritakan ke banyak orangilustrasi mengobrol ShvetsMungkin gak semua seperti ini, tapi tahukah kamu bahwa ada orangtua yang suka sekali membicarakan perihal anaknya ke orang lain. Bagian terburuknya adalah orangtua menceritakan kembali curhatan anaknya ke orang-orang, seperti tetangga dan keluarga besar. Inilah alasannya kenapa anak jadi malas dan gak mau curhat ke orangtua. Bukannya merasa lega setelah bercerita yang ada malah merasa tertekan akibat rasa malu yang diakibatkan oleh orangtua sendiri. Apalagi kalau sampai menyebarkan curhatan yang bersifat privasi ke orang lain tanpa berpikir dulu. 5. Dari dulu gak pernah didengar dengan sepenuh hatiilustrasi orangtua memarahi anak menjadi orangtua, tentu tanggung jawab dan kesibukan yang dimiliki jadi semakin padat, dan hal ini jugalah yang kemudian membuatmu jadi kurang memberi perhatian pada anak. Alasannya gak mau curhat ke orangtua adalah karena ia merasa bahwa ceritanya tak pernah didengar dengan sepenuh hati. Entah kamunya yang mendengarkan ceritanya sambil mengantuk, membaca buku, bekerja, atau bahkan menanggapinya dengan setengah hati sehingga terkesan cuek. Meskipun diam, tapi hati anak sebenarnya kecewa ketika ia diacuhkan, lho. Itulah kenapa dia jadi gak mau bercerita apa-apa lagi ke orangtuanya. Anak menjadi tertutup dan gak mau curhat ke orangtua pasti ada alasannya, dan dengan mengetahui dari lima poin tadi mungkin bisa jadi bahan intropeksi diri untuk memperbaiki komunikasi antara orangtua dan anak. Karena sebenarnya asyik banget kalau orangtua dan anak bisa jadi teman curhat. Baca Juga 5 Rutinitas Sebelum Tidur yang Bisa Eratkan Hubungan Anak dan Orangtua IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.Rasulullahn bersabda: "Orang-orang yang beriman yang paling sempurna keimanannya adalah yang paling bagus akhlaknya dan sebaik-baik kalian adalah orang yang paling bagus kepada istri-istrinya."1. "Tidak ada dari sesuatu yang paling berat timbangan daripada akhlak yang baik."2. "Sesungguhnya seorang mukmin dengan akhlaknya yang baik
Pertama Orang sakit ketika sulit dimaksudkan sakit adalah seseorang yang mengidap penyakit yang membuatnya tidak lagi dikatakan sehat. Para ulama telah sepakat mengenai bolehnya orang sakit untuk tidak berpuasa secara umum. Nanti ketika sembuh, dia diharuskan mengqodho’ puasanya menggantinya di hari lain. Dalil mengenai hal ini adalah firman Allah Ta’ala,وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ“Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan lalu ia berbuka, maka wajiblah baginya berpuasa, sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” QS. Al Baqarah 185Untuk orang sakit ada tiga kondisi[1]Kondisi pertama adalah apabila sakitnya ringan dan tidak berpengaruh apa-apa jika tetap berpuasa. Contohnya adalah pilek, pusing atau sakit kepala yang ringan, dan perut keroncongan. Untuk kondisi pertama ini tetap diharuskan untuk kedua adalah apabila sakitnya bisa bertambah parah atau akan menjadi lama sembuhnya dan menjadi berat jika berpuasa, namun hal ini tidak membahayakan. Untuk kondisi ini dianjurkan untuk tidak berpuasa dan dimakruhkan jika tetap ingin ketiga adalah apabila tetap berpuasa akan menyusahkan dirinya bahkan bisa mengantarkan pada kematian. Untuk kondisi ini diharamkan untuk berpuasa. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,وَلا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ“Dan janganlah kamu membunuh dirimu.” QS. An Nisa’ 29Apakah orang yang dalam kondisi sehat boleh tidak berpuasa karena jika berpuasa dia ditakutkan sakit?Boleh untuk tidak berpuasa bagi orang yang dalam kondisi sehat yang ditakutkan akan menderita sakit jika dia berpuasa. Karena orang ini dianggap seperti orang sakit yang jika berpuasa sakitnya akan bertambah parah atau akan bertambah lama sembuhnya. Allah Ta’ala berfirman,وَلا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ“Dan janganlah kamu membunuh dirimu.” QS. An Nisa’ 29يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” QS. Al Baqarah 185وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ“Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” QS. Al Hajj 78وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ“Jika aku memerintahkan kalian untuk melakukan suatu perkara, maka lakukanlah semampu kalian.”[2]Kedua Orang yang bersafar ketika sulit yang melakukan perjalanan jauh sehingga mendapatkan keringanan untuk mengqoshor shalat dibolehkan untuk tidak dari hal ini adalah firman Allah Ta’ala,وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ“Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan lalu ia berbuka, maka wajiblah baginya berpuasa, sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” QS. Al Baqarah 185Apakah jika seorang musafir berpuasa, puasanya dianggap sah?Mayoritas sahabat, tabi’in dan empat imam madzhab berpendapat bahwa berpuasa ketika safar itu riwayat dari Abu Hurairah, Ibnu Abbas dan Ibnu Umar yang menyatakan bahwa berpuasa ketika safar tidaklah sah dan tetap wajib mengqodho’. Ada yang mengatakan bahwa seperti ini pendapat mayoritas ulama lebih kuat sebagaimana dapat dilihat dari dalil-dalil yang nanti akan kami yang lebih utama bagi orang yang bersafar, berpuasa ataukah tidak?Para ulama dalam hal ini berselisih pendapat. Setelah meneliti lebih jauh dan menggabungkan berbagai macam dalil, dapat kita katakan bahwa musafir ada tiga pertama adalah jika berat untuk berpuasa atau sulit melakukan hal-hal yang baik ketika itu, maka lebih utama untuk tidak berpuasa. Dalil dari hal ini dapat kita lihat dalam hadits Jabir bin Abdillah. Jabir mengatakan,كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فِى سَفَرٍ ، فَرَأَى زِحَامًا ، وَرَجُلاً قَدْ ظُلِّلَ عَلَيْهِ ، فَقَالَ مَا هَذَا » . فَقَالُوا صَائِمٌ . فَقَالَ لَيْسَ مِنَ الْبِرِّ الصَّوْمُ فِى السَّفَرِ“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ketika bersafar melihat orang yang berdesak-desakan. Lalu ada seseorang yang diberi naungan. Lalu Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengatakan, “Siapa ini?” Orang-orang pun mengatakan, “Ini adalah orang yang sedang berpuasa.” Kemudian Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Bukanlah suatu yang baik jika seseorang berpuasa ketika dia bersafar”.[3] Di sini dikatakan tidak baik berpuasa ketika safar karena ketika itu adalah kondisi yang kedua adalah jika tidak memberatkan untuk berpuasa dan tidak menyulitkan untuk melakukan berbagai hal kebaikan, maka pada saat ini lebih utama untuk berpuasa. Hal ini sebagaimana dicontohkan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam, di mana beliau masih tetap berpuasa ketika Abu Darda’, beliau berkata,خَرَجْنَا مَعَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فِى بَعْضِ أَسْفَارِهِ فِى يَوْمٍ حَارٍّ حَتَّى يَضَعَ الرَّجُلُ يَدَهُ عَلَى رَأْسِهِ مِنْ شِدَّةِ الْحَرِّ ، وَمَا فِينَا صَائِمٌ إِلاَّ مَا كَانَ مِنَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – وَابْنِ رَوَاحَةَ“Kami pernah keluar bersama Nabi shallallahu alaihi wa sallam di beberapa safarnya pada hari yang cukup terik. Sehingga ketika itu orang-orang meletakkan tangannya di kepalanya karena cuaca yang begitu panas. Di antara kami tidak ada yang berpuasa. Hanya Nabi shallallahu alaihi wa sallam saja dan Ibnu Rowahah yang berpuasa ketika itu.”[4]Apabila tidak terlalu menyulitkan ketika safar, maka puasa itu lebih baik karena lebih cepat terlepasnya kewajiban. Begitu pula hal ini lebih mudah dilakukan karena berpuasa dengan orang banyak itu lebih menyenangkan daripada mengqodho’ puasa sendiri sedangkan orang-orang tidak ketiga adalah jika berpuasa akan mendapati kesulitan yang berat bahkan dapat mengantarkan pada kematian, maka pada saat ini wajib tidak berpuasa dan diharamkan untuk berpuasa. Dari Jabir bin Abdillah, beliau berkata,أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- خَرَجَ عَامَ الْفَتْحِ إِلَى مَكَّةَ فِى رَمَضَانَ فَصَامَ حَتَّى بَلَغَ كُرَاعَ الْغَمِيمِ فَصَامَ النَّاسُ ثُمَّ دَعَا بِقَدَحٍ مِنْ مَاءٍ فَرَفَعَهُ حَتَّى نَظَرَ النَّاسُ إِلَيْهِ ثُمَّ شَرِبَ فَقِيلَ لَهُ بَعْدَ ذَلِكَ إِنَّ بَعْضَ النَّاسِ قَدْ صَامَ فَقَالَ أُولَئِكَ الْعُصَاةُ أُولَئِكَ الْعُصَاةُ“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam keluar pada tahun Fathul Makkah 8 H menuju Makkah di bulan Ramadhan. Beliau ketika itu berpuasa. Kemudian ketika sampai di Kuroo’ Al Ghomim suatu lembah antara Mekkah dan Madinah, orang-0rang ketika itu masih berpuasa. Kemudian beliau meminta diambilkan segelas air. Lalu beliau mengangkatnya dan orang-orang pun memperhatikan beliau. Lantas beliau pun meminum air tersebut. Setelah beliau melakukan hal tadi, ada yang mengatakan, “Sesungguhnya sebagian orang ada yang tetap berpuasa.” Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pun mengatakan, “Mereka itu adalah orang yang durhaka. Mereka itu adalah orang yang durhaka”.”[5] Nabi shallallahu alaihi wa sallam mencela keras seperti ini karena berpuasa dalam kondisi sangat-sangat sulit seperti ini adalah sesuatu yang waktu diperbolehkan tidak berpuasa bagi musafir?Dalam hal ini, kita mesti melihat beberapa keadaanPertama, jika safar dimulai sebelum terbit fajar atau ketika fajar sedang terbit dan dalam keadaan bersafar, lalu diniatkan untuk tidak berpuasa pada hari itu; untuk kondisi semacam ini diperbolehkan untuk tidak berpuasa berdasarkan kesepakatan para ulama. Alasannya, pada kondisi semacam ini sudah disebut musafir karena sudah adanya sebab yang memperbolehkan untuk tidak jika safar dilakukan setelah fajar atau sudah di waktu siang, maka menurut pendapat Imam Ahmad yang lain, juga pendapat Ishaq dan Al Hasan Al Bashri, dan pendapat ini juga dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, boleh berbuka tidak berpuasa di hari itu. Inilah pendapat yang lebih dari pendapat terakhir ini adalah keumuman firman Allah Ta’ala,وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ“Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan lalu ia berbuka, maka wajiblah baginya berpuasa, sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” QS. Al Baqarah 185Dan juga hadits Jabir sebagaimana telah disebutkan di atas “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam keluar pada tahun Fathul Makkah 8 H menuju Makkah di bulan Ramadhan. Beliau ketika itu berpuasa. Kemudian ketika sampai di Kuroo’ Al Ghomim suatu lembah antara Mekkah dan Madinah, orang-0rang ketika itu masih berpuasa. Kemudian beliau meminta diambilkan segelas air. Lalu beliau mengangkatnya dan orang-orang pun memperhatikan beliau. Lantas beliau pun meminum air tersebut. …Begitu pula yang menguatkan hal ini adalah dari Muhammad bin Ka’ab. Dia mengatakan,أَتَيْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ فِى رَمَضَانَ وَهُوَ يُرِيدُ سَفَرًا وَقَدْ رُحِلَتْ لَهُ رَاحِلَتُهُ وَلَبِسَ ثِيَابَ السَّفَرِ فَدَعَا بِطَعَامٍ فَأَكَلَ فَقُلْتُ لَهُ سُنَّةٌ قَالَ سُنَّةٌ. ثُمَّ رَكِبَ.“Aku pernah mendatangi Anas bin Malik di bulan Ramadhan. Saat ini itu Anas juga ingin melakukan safar. Dia pun sudah mempersiapkan kendaraan dan sudah mengenakan pakaian untuk bersafar. Kemudian beliau meminta makanan, lantas beliau pun memakannya. Kemudian aku mengatakan pada Annas, “Apakah ini termasuk sunnah ajaran Nabi?” Beliau mengatakan, “Ini termasuk sunnah.” Lantas beliau pun berangkat dengan kendaraannya.”[6] Hadits ini merupakan dalil bahwa musafir boleh berbuka sebelum dia pergi jika berniat puasa padahal sedang bersafar, kemudian karena suatu sebab di tengah perjalanan berbuka, maka hal ini diperbolehkan. Alasannya adalah dalil yang telah kami sebutkan pada kondisi kedua dari hadits Abu Darda “Kami pernah keluar bersama Nabi shallallahu alaihi wa sallam di beberapa safarnya pada hari yang cukup terik. Sehingga ketika itu orang-orang meletakkan tangannya di kepalanya karena cuaca yang begitu panas. Di antara kami tidak ada yang berpuasa. Hanya Nabi shallallahu alaihi wa sallam saja dan Ibnu Rowahah yang berpuasa ketika itu.”[7]Kapan berakhirnya keringanan untuk tidak berpuasa bagi musafir?Berakhirnya keringanan rukhsoh bagi musafir untuk tidak berpuasa adalah dalam dua keadaan 1 ketika berniat untuk bermukim, dan 2 jika telah kembali ke orang yang bersafar tersebut kembali ke negerinya pada malam hari, maka keesokan harinya dia wajib berpuasa tanpa ada perselisihan ulama dalam hal apabila dia kembali pada siang hari, sedangkan sebelumnya tidak berpuasa, apakah ketika dia sampai di negerinya, dia jadi ikut berpuasa hingga berbuka?Untuk kasus yang satu ini ada dua pendapat. Pendapat yang lebih tepat adalah dia tidak perlu menahan diri dari makan dan minum. Jadi boleh tidak berpuasa hingga waktu berbuka. Inilah pendapat Imam Asy Syafi’i dan Imam Malik. Terdapat perkataan yang shohih dari Ibnu Mas’ud,مَنْ أَكَلَ أَوَّلَ النَّهَارِ فَلْيَأْكُلْ آخِرَهُ“Barangsiapa yang makan di awal siang, maka makanlah pula di akhir siang.”[8] Jadi, jika di pagi harinya tidak berpuasa, maka di siang atau sore harinya pun tidak perlu berpuasa.[9]Ketiga Orang yang sudah tua rentah dan dalam keadaan lemah, juga orang sakit yang tidak kunjung ulama sepakat bahwa orang tua yang tidak mampu berpuasa, boleh baginya untuk tidak berpuasa dan tidak ada qodho baginya. Menurut mayoritas ulama, cukup bagi mereka untuk memberi fidyah yaitu memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan. Pendapat mayoritas ulama inilah yang lebih kuat. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya jika mereka tidak berpuasa membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin.” QS. Al Baqarah 184Begitu pula orang sakit yang tidak kunjung sembuh, dia disamakan dengan orang tua rentah yang tidak mampu melakukan puasa sehingga dia diharuskan mengeluarkan fidyah memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan.Ibnu Qudamah mengatakan, “Orang sakit yang tidak diharapkan lagi kesembuhannya, maka dia boleh tidak berpuasa dan diganti dengan memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan. Karena orang seperti ini disamakan dengan orang yang sudah tua.”[10]Keempat Wanita hamil dan antara kemudahan dalam syar’at Islam adalah memberi keringanan kepada wanita hamil dan menyusui untuk tidak berpuasa. Jika wanita hamil takut terhadap janin yang berada dalam kandungannya dan wanita menyusui takut terhadap bayi yang dia sapih –misalnya takut kurangnya susu- karena sebab keduanya berpuasa, maka boleh baginya untuk tidak berpuasa, dan hal ini tidak ada perselisihan di antara para ulama. Dalil yang menunjukkan hal ini adalah sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam,إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ شَطْرَ الصَّلاَةِ وَعَنِ الْمُسَافِرِ وَالْحَامِلِ وَالْمُرْضِعِ الصَّوْمَ أَوِ الصِّيَامَ“Sesungguhnya Allah azza wa jalla meringankan setengah shalat untuk musafir dan meringankan puasa bagi musafir, wanita hamil dan menyusui.”[11]Namun apa kewajiban wanita hamil dan menyusui jika tidak berpuasa, apakah ada qodho’ ataukah mesti menunaikan fidyah? Inilah yang diperselisihkan oleh para Jashshosh rahimahullah mengatakan, “Para ulama salaf telah berselisih pendapat dalam masalah ini menjadi tiga pendapat. Ali berpendapat bahwa wanita hamil dan menyusui wajib qodho’ jika keduanya tidak berpuasa dan tidak ada fidyah ketika itu. Pendapat ini juga menjadi pendapat Ibrahim, Al Hasan dan Atho’. Ibnu Abbas berpendapat cukup keduanya membayar fidyah saja, tanpa ada qodho’. Sedangkan Ibnu Umar dan Mujahid berpendapat bahwa keduanya harus menunaikan fidyah sekaligus qodho’.”[12]Pendapat terkuat adalah pendapat yang menyatakan cukup mengqodho’ saja. Ada dua alasan yang bisa diberikan,Alasan pertama dari hadits Anas bin Malik, ia berkata,إِنَّ اللَّهَ وَضَعَ عَنْ الْمُسَافِرِ نِصْفَ الصَّلَاةِ وَالصَّوْمَ وَعَنْ الْحُبْلَى وَالْمُرْضِعِ“Sesungguhnya Allah meringankan separuh shalat dari musafir, juga puasa dari wanita hamil dan menyusui.”[13]Al Jashshosh rahimahullah menjelaskan, “Keringanan separuh shalat tentu saja khusus bagi musafir. Para ulama tidak ada beda pendapat mengenai wanita hamil dan menyusui bahwa mereka tidak dibolehkan mengqoshor shalat. … Keringanan puasa bagi wanita hamil dan menyusui sama halnya dengan keringanan puasa bagi musafir. … Dan telah diketahui bahwa keringanan puasa bagi musafir yang tidak berpuasa adalah mengqodhonya, tanpa adanya fidyah. Maka berlaku pula yang demikian pada wanita hamil dan menyusui. Dari sini juga menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antara wanita hamil dan menyusui jika keduanya khawatir membahayakan dirinya atau anaknya ketika mereka berpuasa karena Nabi shallallahu alaihi wa sallam sendiri tidak merinci hal ini.”[14]Perkataan Al Jashshosh ini sebagai sanggahan terhadap pendapat yang menyatakan wajib mengqodho’ bagi yang hamil sedangkan bagi wanita menyusui adalah dengan mengqodho’ dan memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang kedua Selain alasan di atas, ulama yang berpendapat cukup mengqodho’ saja tanpa fidyah menganggap bahwa wanita hamil dan menyusui seperti orang sakit. Sebagaimana orang sakit boleh tidak puasa, ia pun harus mengqodho’ di hari lain. Ini pula yang berlaku pada wanita hamil dan menyusui. Karena dianggap seperti orang sakit, maka mereka cukup mengqodho’ sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Ta’ala,فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ“Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan lalu ia berbuka, maka wajiblah baginya berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” QS. Al Baqarah 184Pendapat ini didukung pula oleh ulama belakangan semacam Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullah. Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata, “Hukum wanita hamil dan menyusui jika keduanya merasa berat untuk berpuasa, maka keduanya boleh berbuka tidak puasa. Namun mereka punya kewajiban untuk mengqodho mengganti puasa di saat mampu karena mereka dianggap seperti orang yang sakit. Sebagian ulama berpendapat bahwa cukup baginya untuk menunaikan fidyah memberi makan kepada orang miskin untuk setiap hari yang ia tidak berpuasa. Namun pendapat ini adalah pendapat yang lemah. Yang benar, mereka berdua punya kewajiban qodho’ mengganti puasa karena keadaan mereka seperti musafir atau orang yang sakit yaitu diharuskan untuk mengqodho’ ketika tidak berpuasa, -pen. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala yang artinya, “Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan lalu ia berbuka, maka wajiblah baginya berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” QS. Al Baqarah 184[15]Kondisi ini berlaku bagi keadaan wanita hamil dan menyusui yang masih mampu menunaikan qodho’[16]. Dalam kondisi ini dia dianggap seperti orang sakit yang diharuskan untuk mengqodho’ di hari lain ketika ia tidak berpuasa. Namun apabila mereka tidak mampu untukk mengqodho’ puasa, karena setelah hamil atau menyusui dalam keadaan lemah dan tidak kuat lagi, maka kondisi mereka dianggap seperti orang sakit yang tidak kunjung sembuhnya. Pada kondisi ini, ia bisa pindah pada penggantinya yaitu menunaikan fidyah, dengan cara memberi makan pada satu orang miskin setiap harinya.[17]Catatan penting yang perlu diperhatikan bahwa wanita hamil dan menyusui boleh tidak berpuasa jika memang ia merasa kepayahan, kesulitan, takut membahayakan dirinya atau anaknya. Al Jashshosh rahimahullah mengatakan, “Jika wanita hamil dan menyusui berpuasa, lalu dapat membahayakan diri, anak atau keduanya, maka pada kondisi ini lebih baik bagi keduanya untuk tidak berpuasa dan terlarang bagi keduanya untuk berpuasa. Akan tetapi, jika tidak membawa dampak bahaya apa-apa pada diri dan anak, maka lebih baik ia berpuasa, dan pada kondisi ini tidak boleh ia tidak berpuasa.”[18]Penulis Muhammad Abduh TuasikalArtikel Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/118-120.[2] HR. Bukhari no. 7288 dan Muslim no. 1337, dari Abu Hurairah.[3] HR. Bukhari no. 1946 dan Muslim no. 1115.[4] HR. Bukhari no. 1945 dan Muslim no. 1122.[5] HR. Muslim no. 1114.[6] HR. Tirmidzi no. 799. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih[7] HR. Bukhari no. 1945 dan Muslim no. 1122[8] Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam mushonnaf-nya 2/286. Abu Malik mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih.[9] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/120-125.[10] Al Mughni, 4/396.[11] HR. An Nasai no. 2275, Ibnu Majah no. 1667, dan Ahmad 4/347. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih.[12] Ahkamul Qur’an, 1/224. Lihat pula Bidayatul Mujtahid hal. 276 dan Shahih Fiqh Sunnah 2/125-126.[13] HR. An Nasai no. 2274 dan Ahmad 5/29. Syaikh Al Albani dan Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan.[14] Ahkamul Qur’an, Ahmad bin Ali Ar Rozi Al Jashshosh, 1/224[15] Majmu’ Al Fatawa Ibnu Baz, 15/225[16] Wanita yang dalam kondisi semacam ini menunaikan qodho’ di saat dia mampu. Jika sampai dua tahun ditunda karena masih butuh waktu untuk menyusui, maka tidak mengapa dia tunda qodho’nya sampai dia mampu.[17] Lihat Panduan Ibadah Wanita Hamil, hal. 46.[18] Ahkamul Qur’an, Al Jashshosh, 1/223.Alasan kita berpuasa alasannya takut pada orang renta2 kita berpuasa alasannya takut pada orang tua TIDAK SETUJUPUASA ADALAH KEWAJIBAN SETIAP MUSLIM, KITA BERPUASA KARENA ITU ADALAH PERINTAH TUHAN ALLAH. JIKA BERPUASA HANYA KARENA HADIAH ATAU DISURUH ORANG TUA. PUASA TIDAK BERKAH ATAU TIDAK BERPAHALA. SIA SIA KANApa hukumnya orang yg berpuasa alasannya adalah takut sama orang tuanya Kita berpuasa sebab takut pada orang bau tanah berikan argumentasikita puasa alasannya adalah takut pada orang renta ? alasan Alasan kita berpuasa alasannya takut pada orang renta Kita Berpuasa Karena Takut Pada Allah Agar Mendapatkan nrimo,bukan alasannya takut pada orang bau tanah 2 kita berpuasa alasannyatakut pada orang tua Jawaban TIDAK SETUJU Penjelasan PUASA ADALAH KEWAJIBAN SETIAP MUSLIM, KITA BERPUASA KARENA ITU ADALAH PERINTAH TUHAN ALLAH. JIKA BERPUASA HANYA KARENA HADIAH ATAU DISURUH ORANG TUA. PUASA TIDAK BERKAH ATAU TIDAK BERPAHALA. SIA SIA KAN Apa hukumnya orang yg berpuasa alasannya adalah takut sama orang tuanya Dia tak mendapatkan apa-apa kecuali lapar & haus. Kita berpuasa sebab takut pada orang bau tanah berikan argumentasi Jawaban sebab bila orang yg bertakwa, puasa itu hanya takut pada Allah.. …… kita puasa alasannya adalah takut pada orang renta ? alasan alasannya ialah jika kita tak puasa kita akan dimarahin orang bau tanah
.